Rabu, 10 Juni 2009

Imlek, Dulu dan Kini..

Imlek dan warga Tionghoa. Dua hal yang yang terikat erat dan tidak mungkin bisa dipisahkan. Meskipun kini, sebagian besar dari mereka tinggal diseantero dunia nun jauh dari tanah kelahiran leluhurnya, namun sepertinya tradisi merayakan tahun baru Imlek bagi warga keturunan China itu tetap lestari hingga saat ini. Benarkah demikian?

Tahun baru China atau Tahun baru Imlek tak ubahnya seperti tahun baru Masehi atau tahun baru Hijriah bagi umat Islam. Sama-sama disambut dengan meriah. Dengan tata cara dan tradisi yang unik dan penuh makna. Namun pada dasarnya, perayaan-perayaan yang dilakukan untuk menyambut datangnya pergantian tahun itu tetap membawa harapan yang sama. Harapan untuk menjadi lebih baik dari tahun yang sebelumnya.
Di Indonesia, sejarah perayaan Imlek pernah mengalami masa kesuraman. Kala itu dibawah rezim pemerintahan Soeharto, segala bentuk kegiatan yang berbau Tionghoa menjadi hal yang terlarang. Begitu juga dengan perayaan Imlek. Larangan itu tertuang dalam Intruksi Presiden nomer 14 pada tahun 1967. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1998, Inpres No 14 th 1967 itu dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek. Kemudian di era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, hal itu ditindaklanjuti dengan mengeluarkan keputusan presiden nomer 19 tahun 2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Hingga saat ini, Imlek resmi dinyatakan menjadi salah satu hari libur nasional.
Imlek yang jatuh dihari pertama kalender Tionghoa itu dirayakan hampir diseluruh dunia, termasuk kawasan Pecinan diberbagai Negara sejak ribuan tahun lalu. Tradisi yang umumnya dilakukanpun seolah sama. Misalnya, tepat pada hari raya Imlek, biasanya semua orang berpakaian baru dan rapi. Anak-anak atau orang yang lebih muda memberi hormat kepada orang yang lebih tua dengan cara pai-pai atau soja (mengepalkan kedua tangan sambil digoyang-goyang ke depan dan belakang). Kemudian, orang yang lebih tua tadi akan memberikan angpao (amplop merah berisi uang).
Tradisi lainnya adalah membakar petasan atau kembang api. Petasan merupakan simbol kegembiraan. Ledakan petasan diartikan sebagai rezeki yang”meledak”. Ada pula yang memanggil Barongsai tanda mengundang rezeki dan menolak bala. Serta tak ketinggalan, tradisi saling mengunjungi dan membagi-bagikan kue khas Imlek kepada kerabat atau relasi yang dilakukan pada saat perayaan Cap Go Meh (hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek).
Namun sayangnya, tak semua tradisi itu “keuh-keuh” dipegang oleh warga keturunan. Salah satu contohnya yang berada di Ponorogo. Perubahan zaman disinyalir menjadi salah satu faktor penyebabnya. “Imlek dulu, memang sedikit berbeda dengan Imlek sekarang,” kata Soekoco, salah seorang warga keturunan Tionghoa kepada Ponorogo-Ponorogo.
Sembari menerawang, pria yang telah menjadi kakek itu mencoba membandingkan perayaan Imlek saat dirinya masih kanak-kanak dengan Imlek saat ini. Menurutnya, tradisi Imlek dulu tak ubahnya seperti tradisi hari raya Idul Fitri milik kaum Muslimin. Selalu ada baju baru, hidangan berlimpah dan salam tempel. “Yah, kalau kita bandingkan hampir seperti Idul Fitrinya umat Islam. Bedanya kita kan budaya, tetapi mereka agama,” urai pemilik toko besi ini.
Ketika kanak-kanak, Imlek dan tradisinya menjadi hal yang sangat ditunggu dan diharap-harapkan. “Dulu ekonomi serba sulit. Satu tahun aja belum tentu punya baju baru, kecuali pas Imlek. Siapa yang nggak seneng,” katanya sambil tersenyum.
Namun kini, dirinya mengakui semakin sulit menjalankan tradisi semacam itu secara utuh. Zaman telah menggerus tradisi turun temurun itu sedikit demi sedikit. “Sekarang, jangankan nunggu Imlek, tiap bulan aja orang bisa beli baju,” selorohnya. Bahkan, Imlek yang dulunya dirayakan selama 15 hari berturut-turut dengan agenda saling mengunjungi antar kerabatpun seolah terhalang kesibukan pribadi. “Seneng banget, berkunjung ketempat saudara. Tetapi sekarang umumnya terhalang kesibukan. Apalagi liburnya juga cuma satu hari,” tambah kakek yang bertempat tinggal dijalan Ahmad Yani no. 100 itu.
Meskipun demikian, Soekoco sebagai warga asli Tionghoa tetap berupaya untuk mempertahankan tradisi leluhurnya itu. “Kalau saya tetap melaksanakan tradisi. Biasanya saat malam Imlek saya mengundang seluruh kerabat merayakan Imlek di rumah saya. Acaranya bersilaturahmi dan makan-makan. Saya tidak ingin anak cucu saya melupakan tradisi leluhur mereka,” katanya bijak.
Dalam acara keluarga itu, tak ketinggalan akan dilakukan bagi-bagi angpao. Menurutnya, angpao bisa diberikan dari orang tua kepada anak dan cucu. Atau sebalikanya, anak yang sudah bekerja dan berkeluarga memberikan angpao kepada orang tua. Amplop berwarna merah menyala merupakan simbol kegembiraan. Meskipun begitu, jumlah nominal uang yang diberikan tak ada aturan wajib. “Ang itu artinya merah. Kalau Pao berarti bungkus. Jadi, Angpao adalah bungkus yang berwarna merah. Untuk nominalnya terserah yang ngasih,” katanya menjelaskan.
Selain itu, kebiasaan berbagi kue keranjang (kue khas Imlek.red) masih tetap ia lakukan. Bahkan, ketika Ponorogo-Ponorogo berkunjung ke tempat tinggalnya, tampak beberapa orang tengah sibuk membuat dan mengepak kue berbahan dasar tepung terigu itu kedalam toples-toples plastik. “Hidangan Imlek sebenarnya tidak mutlak. Kue keranjang itu fungsinya sebagai penutup Imlek. Tetapi saya kurang tahu mengenai maknanya,” tegasnya jujur. (andhine)

Tak Sekedar Bisnis Cari Untung


Menjadi satu-satunya kelompok makelar bisnis jual beli mobil bekas, membuat usaha ini dirasa makin prospektif di Ponorogo. Bagaimana bisnis ini mampu bertahan ditengah maraknya kasus kejahatan jual beli mobil bodong?

Jangan heran tatkala melihat berbagai mobil dengan bermacam merk acap kali nongkrong berganti-ganti ditempat yang bersebelahan dengan warung kopi ini. Bukan lantaran pelanggan warung itu datang dari kalangan menengah ke atas. Namun ternyata, mobil-mobil yang terparkir adalah mobil second yang sengaja dipajang si empunya atau si penyedia jasa sebelum akhirnya berpindah ke tangan pembeli.
Mobil bekas memang masih menjadi daya tarik bagi sebagian kalangan. Asalkan body mulus, mesin bisa bekerja dengan optimal dan yang paling penting surat-suratnya tak bermasalah. Maka tak heran, sejak muncul diawal tahun 2007 hingga sekarang, kelompok penyedia jasa perantara dan penjual ini tetap bertahan ditengah hantaman krisis keuangan dunia, harga bahan bakar minyak yang sempat naik turun, bahkan kasus jual beli mobil bodong (mobil hasil kejahatan tanpa dilengkapi surat-surat.red).
Bahkan kini, wadah para makelar ini rencananya akan dikukuhkan dalam sebuah bentuk badan usaha bernama Paguyuban Biro Jasa “Basuki Rahmat”. Pembentukan payung ini, menurut Triyono, tidak lain untuk menjaga citra bisnis jual beli mobil bekas agar tetap dipercaya konsumennya. “Dari wadah ini, kita ingin menjaga citra baik bisnis mobil bekas,” kata pria yang mendapat posisi sebagai bendahara ini.
Citra itu coba direalisasikan dengan melakukan pengawasan yang ketat terhadap mobil yang akan dijual maupun dibeli. Dirinya dan teman-teman sesama makelar memang selalu awas dan curiga tatkala mendapati mobil yang dijual dengan harga yang rendah. “Ciri mobil bodong biasanya dijual dengan harga yang sangat murah,” jelasnya menganalisa.
Agar tak berbuntut masalah yang lebih besar dikemudian hari, cek dan ricek kelengkapan surat-surat mobil selalu dilakukannya dengan teliti. Tak cukup itu saja, nomer rangka kendaraan juga menjadi sasaran pemeriksaan. Meskipun, kadang perasaan rikuh dan sungkan kerap kali menyergap ketika si pemilik mobil notabenenya adalah teman sendiri. “Kalau sama teman memang agak rikuh. Disangkanya tidak percaya. Tapi sekali lagi, teliti sebelum membeli itu penting,” urai bapak asal balong ini bijak.
Tetapi, ketelitianpun rasanya tak cukup. Toh, masih ada juga makelar yang tertipu atau rugi akibat terlalu cepat menaruh kepercayaan kepada pembeli. Seperti kasus yang pernah menimpa salah satu kolega Triyono sesama makelar misalnya. Ceritanya, mobil baru dicicil sekitar 1 juta. Namun karena terlanjur percaya, langsung dilepas begitu saja ketangan pembeli. Buntutnya, mobil tiba-tiba menginap dikantor polisi karena digunakan untuk kasus kejahatan. “Ada kasus semacam itu. Akhirnya penjual rugi besar,” selorohnya.
Selain pengawasan, Paguyuban yang namanya diambil dari nama jalan ini, berusaha menciptakan iklim persaingan yang sehat antar makelar. Prinsipnya adalah saling mengingatkan dan saling membantu. Tak terkecuali ketika dagangan teman lain belum laku. Rupanya, paguyuban yang diketua oleh Iman Suyatno ini memang tak sekedar bisnis yang mencari keuntungan belaka. Rasa persahabatan dan pertemananpun dijunjung tinggi. “Alhamdulillah, selama ini persaingannya sehat-sehat saja,” tambah pria bernama lengkap Langen Triyono ini.
Kerjasama antar beberapa showroom mobil bekas yang ada diPonorogopun terjalin cukup baik. Hal ini bisa terjadi karena mayoritas pemilik showroom yang ada merangkap menjadi anggota paguyuban “Basuki Rahmat”. “Akhirnya mereka (showroom) kadang juga ambil mobil dari sini,”
Hingga saat ini, makelar yang sudah tergabung dalam paguyuban mencapai 30 orang. Tersebar merata dihampir semua wilayah Ponorogo. Bahkan, menurut analisa Triyono, jumlah anggota itu bisa saja bertambah, mengingat masih banyak sekali makelar yang belum terdata tetapi sangat berminat untuk bergabung dalam paguyuban ini. “Yang belum terdata mencapai 70 orang. Meskipun begitu, tak semua makelar bisa masuk menjadi anggota dengan mudah. Harus kita telusuri track recordnya gimana,” jelasnya panjang lebar. (andhine)

Panther dan Kijang Banyak diBuru

Jual beli mobil bekas tetap menggeliat. Semakin laris setelah harga bahan bakar minyak berangsur-angsur turun. Menurut pengakuan Triyono, mobil yang ditawarkan mampu bertahan ditangan makelar paling lama sekitar satu minggu. Bahkan terkadang jika rejeki sedang nomplok, mobil bisa laku hanya dalam satu hari. “Senengnya kalau mobil bisa laku cepet. Atau dapat persenan,” katanya sambil terkekeh.
Tetapi, jika nasib sedang naas. Bisnis seperti ini bisa membuat si makelar terlilit masalah. “Kita itu nelongso kalau pembeli nyicilnya telat. Akhirnya makelar yang nomboki,” sambatnya. Belum lagi jika tiba-tiba mendapati surat-surat mobil ternyata bermasalah. “Ini dukanya jadi makelar mobil,” tambahnya lagi.
Disaat penjualan mobil bekas sedang meroket tahun ini, Triyono menangkap hal unik dari pembeli yang berbeda dari bisnisnya ditahun-tahun sebelumnya. Kini, pangsa pasar mobilnya lebih didominasi kaum plat merah alias pegawai negeri. Sedangkan merk mobil yang paling diburu adalah jenis Kijang dan Panther. “Kalau sekarang yang sering beli kebanyakan pegawai negeri. Mobilnya yang laris merk Kijang dan Panther,”
Namun yang tidak banyak berbeda. Peminat mobil bekas paguyuban ini tetap datang dari warga luar kota. Hal ini ditengarai karena makelar/penjual Ponorogo mematok harga yang lebih terjangkau dibanding dengan harga yang dipatok penjual mobil diluar kota. Akibatnya, pembeli mobil kebanyakan datang dari luar kota Ponorogo. “Kata mereka harga mobil disini lebih murah. Makanya orang luar kota seperti Trenggalek, Madiun sering nyari mobil kesini,” pungkasnya. (andhine)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar