Jumat, 16 Januari 2009

Sepeda Pecicilan

Berdansa dengan Sepeda

Bak seorang pemain sirkus profesional, tanpa canggung Ferdin beraksi diatas sepeda BMX kesayangannya. Kaki kanan menginjak peg, kaki kiri diatas roda belakang dan satu tangan memegang stang. Sepeda mini itu berdiri hampir 90 derajat dengan tumpuan satu roda. Sekali genjot, sepedapun berputar perlahan seiring dengan liukan tubuh remaja ABG itu. Putaran kemudian berubah menjadi cepat dan semakin cepat. Gerakan seimbang nan dinamis itu memang hanya berlangsung sekitar 3 menit, namun cukup membuat Ponorogo-Ponorogo terkagum-kagum.

Orang awam yang melihat unjuk kebolehan salah satu pentolan BMX itu pasti mengatakan gerakan barusan sulit dilakukan. Namun, tidak bagi komunitas biker BMX. Trik yang dinamakan lakiar tadi ternyata baru trik yang termudah. Masih ada jajaran trik-trik yang lain yang tentu saja makin membuat kalayak berdecak kagum.

Sepeda, bagi komunitas ini memang punya fungsi tak lazim. Bukannya dipakai untuk alat transportasi anti polusi, tetapi malah digunakan untuk menari. “Kami menyebutnya berdansa dengan sepeda,” kata Ferdin sembari tersenyum. Yang jelas berbeda, dansa ala komunitas BMX Ponorogo ini bisa dibilang mengerikan, ekstrim bahkan mengandung resiko celaka.

Meski demikian, karena sudah terlanjur “jatuh hati”, tubuh memar karena mencium aspal seolah tak dirasakan lagi. Dalihnya, semakin sering terjatuh semakin banyak trik yang bisa dikuasai. “Begitu jatuh, artinya sebentar lagi kita bisa,” tambah siswa salah satu SMK di Ponorogo ini diamini teman-temannya sesama penggila BMX.

Belajar menari dengan sepeda BMX, menurutnya tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Untuk beradaptasi dengan sepeda yang stangnya mampu berputar 360 derajat itu, diperlukan waktu sekitar satu bulan. Tetapi untuk menguasai satu trik, dibutuhkan waktu minimal tiga bulan. “Tetapi tergantung triknya juga. Kalo yang agak sulit, waktunya bisa lebih lama,” urai remaja asal kelurahan Tonatan itu.

Waktu belajar yang relatif singkat itu diakuiny tak akan berarti tanpa dibarengi dengan sikap mental yang baik. Diantaranya kesabaran, keuletan, ketelatenan, dan juga nyali. “Tapi yang nomer satu adalah niat belajar maen BMX,” selorohnya bijak.

Hal itulah yang sepertinya cukup sulit diterapkan. Terbukti, banyak juga remaja seusia mereka yang awalnya tertarik untuk belajar memainkan sepeda mini ini namun dibalik itu tujuannya hanya untuk menarik perhatian lawan jenis. “Kita paling gak suka, kalo belajar BMX cuma buat nampang,” geram Harfit, pentolan BMX yang lain.

Meskipun diakuinya, mahir memainkan sepeda BMX bisa jadi membuat kaum cewek terpesona. Mengingat olahraga yang termasuk mahal ini, sangat jarang yang bisa menguasai. Tetapi, justru hal itulah yang mati-matian dihindari oleh komunitas yang dikenal lewat nama POXY (Ponorogo BMX City) itu. Pasalnya, pacaran menurut mereka hanya akan membuat mereka lupa pada sang sepeda. Walhasil, sebagian besar anggota komunitas ini memilih men-jomblo. “Kita semua ini jomblo,” promosi Harfit diiringi tawa berderai yang lain.

Yang lebih ekstrim, untuk mendukung gerakan men-jomblo-nya, komunitas yang berdiri sejak tahun 2004 itu, kini mengusung motto “No Women in Here” (Tidak boleh ada cewek dikomunitas ini). Motto ini rupanya efektif untuk membuat mereka tetap kompak diusia yang menginjak 5 tahun. Meskipun motto itu agaknya hanya sekedar jargon, karena dua diantara mereka tidak betah berlama-lama men-jomblo dan memilih berpacaran.

Kini, kelompok yang digawangi Ferdin, Harfit, Gelora, Dimas, David dan Beni ini mampu menunjukkan taringnya di antara komunitas-komunitas lain di Ponorogo. Hampir 15 triks berdansa dengan sepeda mereka kuasai. Sebut saja diantaranya Lakiar, Bakiar,Time Machine, Fucy Chicken, Hang Five, Stame Poller dan lain sebagainya. “Masing-masing dari kita punya trik andalan. Kalo yang kita kuasai kira-kira 15 trik,” ujar cowok bernama lengkap Ferdinan Agata ini.

Yang lebih patut diacungi jempol, ternyata mereka mampu menghasilkan tambahan uang saku dari hobi berjumpalitan dengan sepeda itu. Padahal rata-rata dari mereka masih berusia remaja. Yaitu antara SMP dan SMA. Penghasilan tambahan itu didapat, ketika komunitas ini mendapat kesempatan untuk tampil dalam sebuah event. Yang paling gress, tentunya penampilan mereka dalam pembukaan Grebeg Suro dan Festival Reog Nasional beberapa waktu yang lalu. “Biasanya event musik yang diadain sama produsen rokok,”

Hasil keringat mereka itupun tak lantas dipakai untuk sekedar hura-hura. “Sebagian kita masukkan ke kas. Njagani (jaga-jaga) kalo pas spare part rusak dan kita pas gak ada duwit,” imbuh siswa kelas 2 ini.

Wah, kecil-kecil cabe rawit ya?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar