Rabu, 10 Juni 2009

PP Edisi 11-20

Dua Kali Kirap Pusaka. Ada Apa?

Prabu Klono Sewandono yang tersohor dengan pusaka pecut Samandiman, muncul dan berkirap di seputar Kauman Somoroto. Ada apa gerangan?

Iring-iringan kirap pusaka yang digelar dua pekan lalu, mengingatkan kita pada ritual serupa yang pernah diadakan pemerintah daerah Ponorogo untuk menyambut hari jadinya awal bulan Muharram kemarin. Meski serupa (tapi sebenarnya tak sama) dengan kirap Grebeg Suro yang mengambarkan perjalanan sejarah Ponorogo dari kota lama menuju kota baru, ritual yang dipusatkan di desa Kauman Sumoroto ini, tak urung turut menyedot perhatian warga dan insan media. Ratusan massa berjubel, berdesakan dipinggiran jalan menantikan kedatangan barisan pasukan pria berpakaian Ponorogan yang dipimpin oleh seseorang. Yang paling menarik perhatian, tentu saja seseorang dibarisan paling depan. Terlihat gagah berani, si pemimpin pasukan menggenggam cambuk ditangan. Siapa sebenarnya dia?.
Wong asli Ponorogo, jelas tak asing dengan figur pembawa pecut itu. Tak salah, dialah sang Prabu Klono Sewandono. Raja penguasa kerajaan Bantar Angin. Kerajaan besar yang secara geografis terletak disebelah Barat pusat kota itu konon menjadi cikal bakal berdirinya kota Ponorogo. Sedangkan senjata ditangannya adalah pecut Samandiman. Konon kabarnya, kedasyatan pecut itu tiada tara. Ibarat kata, jika dicambukkan atau disabetkan ke gunung, maka gunung tersebut akan hancur lebur dan jika disabetkan ke lautan, maka lautan itu kering kerontang. Dalam bahasa Jawa-nya; Disabet ake Gunung, Jurug. Disabet ake Segoro, Asat. Namun tak perlu khawatir, sang Prabu yang muncul dan berpawai di ds. Kauman ini bukan sang prabu yang asli. Tetapi hanya seorang guru SD yang didaulat untuk membawakan peran prabu Klono Sewandono yang menjadi ikon dalam ritual kirap pusaka kilas sejarah babat tanah Ponorogo di petilasan kerajaan Bantar Angin.
Kirap pusaka yang lazim digelar diberbagai kota di Indonesia tentunya tak asal dilakukan. Terdapat makna historis, lengkap dengan pesan-pesan tersirat bagi anak cucu, yang ingin disampaikan dari ritual setahun sekali itu. Tak terkecuali dengan kota Reyog. Setiap tahun, begitu memasuki bulan Suro/Muharram, Pemerintah Kabupaten Ponorogo juga menggelar ritual Kirap Pusaka. Selain berfungsi sebagai sarana promosi wisata, kegiatan ini sebenarnya merupakan sarana mengenang perjalanan sejarah kota Reyog di era kepemimpinan Raja Bathoro Katong. Kilas sejarah kota Ponorogo itu diaktualisasikan dengan pawai benda-benda pusaka dari kota lama (Pasar Pon) menuju kota baru (Kota Kecamatan). Selama puluhan tahun, pawai yang juga mengikutsertakan para pejabat pemda Ponorogo itu selalu menjadi tontonan yang dinanti warga Ponorogo diantara beberapa rangkaian event Grebeg Suro.
Namun dua tahun terakhir ini, berturut-turut dilakukan ritual yang hampir serupa di ds. Kauman Somoroto. Publik Ponorogo tentunya mengenal legenda Kerajaan Bantar Angin. Kerajaan yang menurut mitos meninggalkan petilasan berupa batu-bata besar di ds. Somoroto ini jelas tak bisa dilepaskan begitu saja dari rangkaian sejarah babat tanah Ponorogo. Demi mengingatkan dan melestarikan sejarah babat tanah Ponorogo, kirap itupun digelar. Bedanya, ritual ini murni tanpa campur tangan pemerintah daerah. Bisik-bisik tak sedap pun berhembus. Ada indikasi, warga masyarakat Somoroto merasa kurang “sreg” dengan kirap pusaka yang diadakan pemerintah. Apalagi muncul kesan bahwa kirap yang selama ini hanya dipusatkan dikota lama cenderung menafikkan awal mula berdirinya kota Ponorogo yang berasal dari Kerajaan Bantar Angin. Rido Kurnianto tak menampik wacana itu. “Bisa jadi demikian, namun hal seperti itu sah-sah saja,” tegas Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Unmuh Ponorogo yang kerap meneliti dan mengkaji sejarah seni Reyog dan babat Ponorogo ini.
Dirinya kemudian mencontohkan satu event Grebeg Suro yang juga dilakukan dua kali. Yaitu prosesi larungan. Meski pemerintah telah menggelar larungan dengan nama Larung Risalah Do’a, toh para sesepun kawasan telaga Ngebel tetap mengadakan larungan sendiri dimalam sebelum Larung milik pemerintah dilakukan. “Larungannya ya hampir sama.Pake tumpeng juga,” tambah dosen yang mengajar di Fakultas Tarbiyah lagi.
Menurut, pak Rido –sapaan Rido Kurnianto- apa yang dilakukan masyarakat Somoroto dengan menggelar kirap lagi atau sesepuh Ngebel yang mengadakan larungan dua kali bisa disebut sebagai Counter Culture atau dalam bahasa Indonesia berarti perlawanan budaya. Perlawanan sebagai bentuk ketidakpuasan ini bisa saja memantik konflik tatkala pemerintah tidak mengakomodir keinginan dan harapan masyarakat. “Namun, ketika hal itu diakomodir, sebenarnya tidak masalah,” kata pria murah senyum ini.
Secara tegas, dirinya turut membenarkan bahwa legenda babat tanah Ponorogo memang dimulai dari Kerajaan Bantar Angin yang mitosnya berada di ds. Kauman Somoroto. Namun, mengapa pemerintah Ponorogo hanya menggelar ritual kirab di petilasan Kerajaan Bathoro Katong tanpa melibatkan unsur dari kerajaan Bantar Angin, menurutnya, lebih karena kekuasaan Raja Bathoro Katong kala itu, telah mencapai hampir separuh dari wilayah Ponorogo. Berbeda dengan kepemimpinan Raja Klono Sewandono yang berkuasa hanya diwilayah bagian Barat kota Ponorogo.
Tak hanya mitos petilasan Bantar Angin, dibeberapa wilayah di Ponorogo, konon merupakan tempat yang juga terkait erat dengan sejarah Babat tanah Ponorogo. Dalam berbagai versi sejarah yang tentu saja kurang bisa dibuktikan secara faktual (nyata) kebenarannya, diceritakan di ds. Bedingin kec. Sambit, pernah ditemukan arca berbentuk potongan kepala berlumuran darah (Sirah Peteng) yang menurut masyarakat sekitar adalah perwujudan Prabu Boko (leluhur kerajaan Wengker). Kemudian, di ds. Tegal Sari dan ds. Kutu kec. Jetis yang terkenal dengan ulama kyai Ageng Hasan Besari dan pujangga besar Ronggo Warsito atau ds. Tajug, kec. Siman dengan komplek makam R. Adipati Mertohadinegoro. Mantan Bupati Ponorogo keturunan Jayengrono dan Bathoro Katong. “Jika diruntut atau diteliti, kesemua tempat itu mungkin memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan babat Ponorogo. Jadi, sebuah babat tidak bisa hanya dikaitkan dengan satu tempat saja,” pungkasnya. (andhine)


Menelisik Kembali Babat Tanah Ponorogo

Eleng-eleng o babat tanah Ponorogo
Soko Bantarangin, Prabu Klono Sewandono
Siswo kinasih, Sunan Lawu Browijoyo
Pecut Samandiman, ingkang kinaryo pusoko
Jumeglar-jumeglar, koyo goro yurnito (Bumi Reyog – cipt. Dalang Poer)

Lagu berjudul “Bumi Reyog” diatas memang secara gamblang dan jelas menyatakan bahwa babat tanah Ponorogo dimulai dari adanya kerajaan Bantar Angin. Namun, menelisik sejarah babat tanah Ponorogo dan mencari data-data faktualnya sama rumitnya dengan mengkaji sejarah kesenian khasnya yaitu Reyog. Pasalnya, sampai kini belum ditemukan data dan fakta sejarah yang membuktikan bahwa tempat itulah (petilasan di Somoroto, Red) yang menjadi awal mula terbentuknya daerah yang bernama Ponorogo. Pun dengan kapan kerajaan itu berdiri. Atau, kerajaan apa saja yang muncul setelah kerajaan Bantar Angin. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang kesemua jawabannya masih dalam tanda tanya besar. “Sulit dicari data-data faktualnya. Penelitian secara arkeologis juga belum pernah diadakan ” papar Rido Kurnianto, dari Unmuh Ponorogo.
Sejarah babat Ponorogo akhirnya muncul dengan berbagai versi serta bermacam cerita. Namun, Rido pribadi meyakini kerajaan Bantar Angin benar-benar pernah ada. Meskipun akhirnya, cerita tentang kerajaan Bantar Angin sangat kental dengan bumbu sehingga sejarah itu lebih layak jika disebut sebagai legenda atau mitos. “Sebuah babat memang terkait erat dengan mitos/legenda,” katanya.
Namun, sejatinya mitos dan legenda yang dimunculkan dalam sejarah tidak seluruhnya membawa pengaruh buruk. “Legenda atau mitos berfungsi untuk melestarikan budaya dan menyebarkan semangat. Sehingga sejarah akan terus diingat oleh anak-cucu kita. Tidak seluruhnya jelek. Dan legenda itupun tidak hanya muncul di Ponorogo tetapi juga dibanyak kota yang lainnya,” tambah dosen Fakultas Tarbiyah ini.
Dari tangan pria ini, Ponorogo-Ponorogo akhirnya mendapat salinan cerita babat Ponorogo dan terjadinya Reyog Ponorogo milik Alm. Ki Kasni Guno Pati atau yang akrab dipanggil Mbah Wo Kucing. “Tiga bulan sebelum mbah Wo meninggal saya dikasih ini. Saya masih ingat betul pesan beliau. “Mas, ini nanti panjenengan yang meneruskan”,” kata Rido mengulangi kata-kata Alm. Mbah Wo.
Versi Alm. Mbah Wo Kucing, cerita babat Ponorogo dimulai dari tempat yang bernama Wengker (berasal dari kata Wana/Hutan dan Angker/Banyak dihuni makhluk halus). Kerajaan makhluk halus ini dipimpin oleh sepasang raja dan ratu bernama Darmawati dan Marmawati (dengan leluhurnya Prabu Boko). Kuatnya benteng pertahanan Wengker juga berkat adanya tiga Resi bersaudara yaitu; Raden Mas Jin Jami Jaya (Penguasa gunung Semeru), Raden Panji Nilosuwarno (Penguasa sumur Jolotundo, Blitar) dan Ki Gedug Padang Ati (Penguasa gunung Probolinggo).
Suatu ketika, ketiga Resi itu diperintahkan Raja Wengker untuk memperluas wilayah kekuasaan. Kesempatan ituh yang ditunggu-tunggu mereka karena sedari dulu mereka kurang senang dengan pemerintahan Darmawati dan Marmawati. Mereka pun meninggalkan Wengker hingga suatu saat sampailah mereka ditempat yang lapang dengan padang ilalang disekelilingnya. Ketiga pengembara ini kemudian menghentikan perjalanannya dan beristirahat. Tempat itu kemudian disebut Bantar Angin (Bantar/tempat yang sangat luas, Angin/udara yang berhembus). Disinilah mereka bertempat tinggal dan mendirikan padepokan.
Cerita diteruskan dengan munculnya seorang pengembara bernama Raden Panji Kelana (putra raja Kahuripan/Jenggala) di Bantar Angin. Panji Kelana kemudian berguru kepada ketiga Resi pemimpin padepokan itu. Singkat cerita, padepokan itu mengalami pergantian kekuasaan. Ketiga resi merasa sudah terlalu tua untuk memimpin BantarAngin hingga tampuk kekuasaannya diserahkan kepada Panji Kelana.
Pada suatu hari di sebuah tempat dikaki Gunung Lawu, Panji Kelana bertemu dengan Joko Pujang. Putra raja Kediri. Tabiat Joko Pujang yang tinggi hati memicu perkelahian antara keduanya. Adu kekuatan itu kemudian dimenangkan oleh Panji Kelana. Ketika Panji hendak membunuh Joko Pujang, muncullah seorang Brahmana (pertapa tua) penghuni Gunung Lawu yang melarang Panji Kelana. Dialah Kanjeng Sunan Lawu. Akhirnya kedua pemuda itu diangkat menjadi murid Sunan Lawu. Karena ketekunan kedua muridnya, Sunan Lawu memberikan aji kesaktian kepada mereka. Raden Panji Kelana mendapat Topeng Kencana dan Pecut Samandiman. Sedangkan Joko Pujang mendapat Topeng Kesaktian dan Aji Landak Putih.
Selanjutnya, Panji Kelana memerintah kerajaan Bantar Angin dengan gelar Raden Panji Kelana Siswa Handana (sering diucapkan menjadi Raden Panji Kelono Sewandono). Kelana artinya suka berkelana, Siswa artinya murid, sedangkan Handana berarti pemberani. Yang akhirnya dijuluki Kelana Sewandana.
Joko Pujang sendiri akhirnya mengabdi kepada Raden Kelana Sewandana dan bergelar Joko Pujang Anung. Joko Pujang berarti masih muda, dan Anung artinya agul-agul (prajurit) kerajaan. Joko Pujang Anung (kerap disebut Pujang Ganong) akhirnya menjadi patih kerajaan Bantar Angin.
Dari cerita itulah kini di wilayah Seboto ds. Somoroto, ditemukan batu bata dengan ukuran yang besar-besar. Konon, disitulah pusat kerajaan Bantar Angin. (andhine)
Imlek, Dulu dan Kini..

Imlek dan warga Tionghoa. Dua hal yang yang terikat erat dan tidak mungkin bisa dipisahkan. Meskipun kini, sebagian besar dari mereka tinggal diseantero dunia nun jauh dari tanah kelahiran leluhurnya, namun sepertinya tradisi merayakan tahun baru Imlek bagi warga keturunan China itu tetap lestari hingga saat ini. Benarkah demikian?

Tahun baru China atau Tahun baru Imlek tak ubahnya seperti tahun baru Masehi atau tahun baru Hijriah bagi umat Islam. Sama-sama disambut dengan meriah. Dengan tata cara dan tradisi yang unik dan penuh makna. Namun pada dasarnya, perayaan-perayaan yang dilakukan untuk menyambut datangnya pergantian tahun itu tetap membawa harapan yang sama. Harapan untuk menjadi lebih baik dari tahun yang sebelumnya.
Di Indonesia, sejarah perayaan Imlek pernah mengalami masa kesuraman. Kala itu dibawah rezim pemerintahan Soeharto, segala bentuk kegiatan yang berbau Tionghoa menjadi hal yang terlarang. Begitu juga dengan perayaan Imlek. Larangan itu tertuang dalam Intruksi Presiden nomer 14 pada tahun 1967. Dua tahun kemudian, tepatnya tahun 1998, Inpres No 14 th 1967 itu dicabut oleh Presiden Abdurrahman Wahid. Masyarakat keturunan Tionghoa di Indonesia kembali mendapatkan kebebasan merayakan tahun baru Imlek. Kemudian di era kepemimpinan Megawati Soekarnoputri, hal itu ditindaklanjuti dengan mengeluarkan keputusan presiden nomer 19 tahun 2002 tertanggal 9 April 2002 yang meresmikan Imlek sebagai hari libur nasional. Hingga saat ini, Imlek resmi dinyatakan menjadi salah satu hari libur nasional.
Imlek yang jatuh dihari pertama kalender Tionghoa itu dirayakan hampir diseluruh dunia, termasuk kawasan Pecinan diberbagai Negara sejak ribuan tahun lalu. Tradisi yang umumnya dilakukanpun seolah sama. Misalnya, tepat pada hari raya Imlek, biasanya semua orang berpakaian baru dan rapi. Anak-anak atau orang yang lebih muda memberi hormat kepada orang yang lebih tua dengan cara pai-pai atau soja (mengepalkan kedua tangan sambil digoyang-goyang ke depan dan belakang). Kemudian, orang yang lebih tua tadi akan memberikan angpao (amplop merah berisi uang).
Tradisi lainnya adalah membakar petasan atau kembang api. Petasan merupakan simbol kegembiraan. Ledakan petasan diartikan sebagai rezeki yang”meledak”. Ada pula yang memanggil Barongsai tanda mengundang rezeki dan menolak bala. Serta tak ketinggalan, tradisi saling mengunjungi dan membagi-bagikan kue khas Imlek kepada kerabat atau relasi yang dilakukan pada saat perayaan Cap Go Meh (hari ke-15 setelah Tahun Baru Imlek).
Namun sayangnya, tak semua tradisi itu “keuh-keuh” dipegang oleh warga keturunan. Salah satu contohnya yang berada di Ponorogo. Perubahan zaman disinyalir menjadi salah satu faktor penyebabnya. “Imlek dulu, memang sedikit berbeda dengan Imlek sekarang,” kata Soekoco, salah seorang warga keturunan Tionghoa kepada Ponorogo-Ponorogo.
Sembari menerawang, pria yang telah menjadi kakek itu mencoba membandingkan perayaan Imlek saat dirinya masih kanak-kanak dengan Imlek saat ini. Menurutnya, tradisi Imlek dulu tak ubahnya seperti tradisi hari raya Idul Fitri milik kaum Muslimin. Selalu ada baju baru, hidangan berlimpah dan salam tempel. “Yah, kalau kita bandingkan hampir seperti Idul Fitrinya umat Islam. Bedanya kita kan budaya, tetapi mereka agama,” urai pemilik toko besi ini.
Ketika kanak-kanak, Imlek dan tradisinya menjadi hal yang sangat ditunggu dan diharap-harapkan. “Dulu ekonomi serba sulit. Satu tahun aja belum tentu punya baju baru, kecuali pas Imlek. Siapa yang nggak seneng,” katanya sambil tersenyum.
Namun kini, dirinya mengakui semakin sulit menjalankan tradisi semacam itu secara utuh. Zaman telah menggerus tradisi turun temurun itu sedikit demi sedikit. “Sekarang, jangankan nunggu Imlek, tiap bulan aja orang bisa beli baju,” selorohnya. Bahkan, Imlek yang dulunya dirayakan selama 15 hari berturut-turut dengan agenda saling mengunjungi antar kerabatpun seolah terhalang kesibukan pribadi. “Seneng banget, berkunjung ketempat saudara. Tetapi sekarang umumnya terhalang kesibukan. Apalagi liburnya juga cuma satu hari,” tambah kakek yang bertempat tinggal dijalan Ahmad Yani no. 100 itu.
Meskipun demikian, Soekoco sebagai warga asli Tionghoa tetap berupaya untuk mempertahankan tradisi leluhurnya itu. “Kalau saya tetap melaksanakan tradisi. Biasanya saat malam Imlek saya mengundang seluruh kerabat merayakan Imlek di rumah saya. Acaranya bersilaturahmi dan makan-makan. Saya tidak ingin anak cucu saya melupakan tradisi leluhur mereka,” katanya bijak.
Dalam acara keluarga itu, tak ketinggalan akan dilakukan bagi-bagi angpao. Menurutnya, angpao bisa diberikan dari orang tua kepada anak dan cucu. Atau sebalikanya, anak yang sudah bekerja dan berkeluarga memberikan angpao kepada orang tua. Amplop berwarna merah menyala merupakan simbol kegembiraan. Meskipun begitu, jumlah nominal uang yang diberikan tak ada aturan wajib. “Ang itu artinya merah. Kalau Pao berarti bungkus. Jadi, Angpao adalah bungkus yang berwarna merah. Untuk nominalnya terserah yang ngasih,” katanya menjelaskan.
Selain itu, kebiasaan berbagi kue keranjang (kue khas Imlek.red) masih tetap ia lakukan. Bahkan, ketika Ponorogo-Ponorogo berkunjung ke tempat tinggalnya, tampak beberapa orang tengah sibuk membuat dan mengepak kue berbahan dasar tepung terigu itu kedalam toples-toples plastik. “Hidangan Imlek sebenarnya tidak mutlak. Kue keranjang itu fungsinya sebagai penutup Imlek. Tetapi saya kurang tahu mengenai maknanya,” tegasnya jujur. (andhine)

Tak Sekedar Bisnis Cari Untung


Menjadi satu-satunya kelompok makelar bisnis jual beli mobil bekas, membuat usaha ini dirasa makin prospektif di Ponorogo. Bagaimana bisnis ini mampu bertahan ditengah maraknya kasus kejahatan jual beli mobil bodong?

Jangan heran tatkala melihat berbagai mobil dengan bermacam merk acap kali nongkrong berganti-ganti ditempat yang bersebelahan dengan warung kopi ini. Bukan lantaran pelanggan warung itu datang dari kalangan menengah ke atas. Namun ternyata, mobil-mobil yang terparkir adalah mobil second yang sengaja dipajang si empunya atau si penyedia jasa sebelum akhirnya berpindah ke tangan pembeli.
Mobil bekas memang masih menjadi daya tarik bagi sebagian kalangan. Asalkan body mulus, mesin bisa bekerja dengan optimal dan yang paling penting surat-suratnya tak bermasalah. Maka tak heran, sejak muncul diawal tahun 2007 hingga sekarang, kelompok penyedia jasa perantara dan penjual ini tetap bertahan ditengah hantaman krisis keuangan dunia, harga bahan bakar minyak yang sempat naik turun, bahkan kasus jual beli mobil bodong (mobil hasil kejahatan tanpa dilengkapi surat-surat.red).
Bahkan kini, wadah para makelar ini rencananya akan dikukuhkan dalam sebuah bentuk badan usaha bernama Paguyuban Biro Jasa “Basuki Rahmat”. Pembentukan payung ini, menurut Triyono, tidak lain untuk menjaga citra bisnis jual beli mobil bekas agar tetap dipercaya konsumennya. “Dari wadah ini, kita ingin menjaga citra baik bisnis mobil bekas,” kata pria yang mendapat posisi sebagai bendahara ini.
Citra itu coba direalisasikan dengan melakukan pengawasan yang ketat terhadap mobil yang akan dijual maupun dibeli. Dirinya dan teman-teman sesama makelar memang selalu awas dan curiga tatkala mendapati mobil yang dijual dengan harga yang rendah. “Ciri mobil bodong biasanya dijual dengan harga yang sangat murah,” jelasnya menganalisa.
Agar tak berbuntut masalah yang lebih besar dikemudian hari, cek dan ricek kelengkapan surat-surat mobil selalu dilakukannya dengan teliti. Tak cukup itu saja, nomer rangka kendaraan juga menjadi sasaran pemeriksaan. Meskipun, kadang perasaan rikuh dan sungkan kerap kali menyergap ketika si pemilik mobil notabenenya adalah teman sendiri. “Kalau sama teman memang agak rikuh. Disangkanya tidak percaya. Tapi sekali lagi, teliti sebelum membeli itu penting,” urai bapak asal balong ini bijak.
Tetapi, ketelitianpun rasanya tak cukup. Toh, masih ada juga makelar yang tertipu atau rugi akibat terlalu cepat menaruh kepercayaan kepada pembeli. Seperti kasus yang pernah menimpa salah satu kolega Triyono sesama makelar misalnya. Ceritanya, mobil baru dicicil sekitar 1 juta. Namun karena terlanjur percaya, langsung dilepas begitu saja ketangan pembeli. Buntutnya, mobil tiba-tiba menginap dikantor polisi karena digunakan untuk kasus kejahatan. “Ada kasus semacam itu. Akhirnya penjual rugi besar,” selorohnya.
Selain pengawasan, Paguyuban yang namanya diambil dari nama jalan ini, berusaha menciptakan iklim persaingan yang sehat antar makelar. Prinsipnya adalah saling mengingatkan dan saling membantu. Tak terkecuali ketika dagangan teman lain belum laku. Rupanya, paguyuban yang diketua oleh Iman Suyatno ini memang tak sekedar bisnis yang mencari keuntungan belaka. Rasa persahabatan dan pertemananpun dijunjung tinggi. “Alhamdulillah, selama ini persaingannya sehat-sehat saja,” tambah pria bernama lengkap Langen Triyono ini.
Kerjasama antar beberapa showroom mobil bekas yang ada diPonorogopun terjalin cukup baik. Hal ini bisa terjadi karena mayoritas pemilik showroom yang ada merangkap menjadi anggota paguyuban “Basuki Rahmat”. “Akhirnya mereka (showroom) kadang juga ambil mobil dari sini,”
Hingga saat ini, makelar yang sudah tergabung dalam paguyuban mencapai 30 orang. Tersebar merata dihampir semua wilayah Ponorogo. Bahkan, menurut analisa Triyono, jumlah anggota itu bisa saja bertambah, mengingat masih banyak sekali makelar yang belum terdata tetapi sangat berminat untuk bergabung dalam paguyuban ini. “Yang belum terdata mencapai 70 orang. Meskipun begitu, tak semua makelar bisa masuk menjadi anggota dengan mudah. Harus kita telusuri track recordnya gimana,” jelasnya panjang lebar. (andhine)

Panther dan Kijang Banyak diBuru

Jual beli mobil bekas tetap menggeliat. Semakin laris setelah harga bahan bakar minyak berangsur-angsur turun. Menurut pengakuan Triyono, mobil yang ditawarkan mampu bertahan ditangan makelar paling lama sekitar satu minggu. Bahkan terkadang jika rejeki sedang nomplok, mobil bisa laku hanya dalam satu hari. “Senengnya kalau mobil bisa laku cepet. Atau dapat persenan,” katanya sambil terkekeh.
Tetapi, jika nasib sedang naas. Bisnis seperti ini bisa membuat si makelar terlilit masalah. “Kita itu nelongso kalau pembeli nyicilnya telat. Akhirnya makelar yang nomboki,” sambatnya. Belum lagi jika tiba-tiba mendapati surat-surat mobil ternyata bermasalah. “Ini dukanya jadi makelar mobil,” tambahnya lagi.
Disaat penjualan mobil bekas sedang meroket tahun ini, Triyono menangkap hal unik dari pembeli yang berbeda dari bisnisnya ditahun-tahun sebelumnya. Kini, pangsa pasar mobilnya lebih didominasi kaum plat merah alias pegawai negeri. Sedangkan merk mobil yang paling diburu adalah jenis Kijang dan Panther. “Kalau sekarang yang sering beli kebanyakan pegawai negeri. Mobilnya yang laris merk Kijang dan Panther,”
Namun yang tidak banyak berbeda. Peminat mobil bekas paguyuban ini tetap datang dari warga luar kota. Hal ini ditengarai karena makelar/penjual Ponorogo mematok harga yang lebih terjangkau dibanding dengan harga yang dipatok penjual mobil diluar kota. Akibatnya, pembeli mobil kebanyakan datang dari luar kota Ponorogo. “Kata mereka harga mobil disini lebih murah. Makanya orang luar kota seperti Trenggalek, Madiun sering nyari mobil kesini,” pungkasnya. (andhine)

Jumat, 16 Januari 2009

Sepeda Pecicilan

Berdansa dengan Sepeda

Bak seorang pemain sirkus profesional, tanpa canggung Ferdin beraksi diatas sepeda BMX kesayangannya. Kaki kanan menginjak peg, kaki kiri diatas roda belakang dan satu tangan memegang stang. Sepeda mini itu berdiri hampir 90 derajat dengan tumpuan satu roda. Sekali genjot, sepedapun berputar perlahan seiring dengan liukan tubuh remaja ABG itu. Putaran kemudian berubah menjadi cepat dan semakin cepat. Gerakan seimbang nan dinamis itu memang hanya berlangsung sekitar 3 menit, namun cukup membuat Ponorogo-Ponorogo terkagum-kagum.

Orang awam yang melihat unjuk kebolehan salah satu pentolan BMX itu pasti mengatakan gerakan barusan sulit dilakukan. Namun, tidak bagi komunitas biker BMX. Trik yang dinamakan lakiar tadi ternyata baru trik yang termudah. Masih ada jajaran trik-trik yang lain yang tentu saja makin membuat kalayak berdecak kagum.

Sepeda, bagi komunitas ini memang punya fungsi tak lazim. Bukannya dipakai untuk alat transportasi anti polusi, tetapi malah digunakan untuk menari. “Kami menyebutnya berdansa dengan sepeda,” kata Ferdin sembari tersenyum. Yang jelas berbeda, dansa ala komunitas BMX Ponorogo ini bisa dibilang mengerikan, ekstrim bahkan mengandung resiko celaka.

Meski demikian, karena sudah terlanjur “jatuh hati”, tubuh memar karena mencium aspal seolah tak dirasakan lagi. Dalihnya, semakin sering terjatuh semakin banyak trik yang bisa dikuasai. “Begitu jatuh, artinya sebentar lagi kita bisa,” tambah siswa salah satu SMK di Ponorogo ini diamini teman-temannya sesama penggila BMX.

Belajar menari dengan sepeda BMX, menurutnya tidak membutuhkan waktu yang terlalu lama. Untuk beradaptasi dengan sepeda yang stangnya mampu berputar 360 derajat itu, diperlukan waktu sekitar satu bulan. Tetapi untuk menguasai satu trik, dibutuhkan waktu minimal tiga bulan. “Tetapi tergantung triknya juga. Kalo yang agak sulit, waktunya bisa lebih lama,” urai remaja asal kelurahan Tonatan itu.

Waktu belajar yang relatif singkat itu diakuiny tak akan berarti tanpa dibarengi dengan sikap mental yang baik. Diantaranya kesabaran, keuletan, ketelatenan, dan juga nyali. “Tapi yang nomer satu adalah niat belajar maen BMX,” selorohnya bijak.

Hal itulah yang sepertinya cukup sulit diterapkan. Terbukti, banyak juga remaja seusia mereka yang awalnya tertarik untuk belajar memainkan sepeda mini ini namun dibalik itu tujuannya hanya untuk menarik perhatian lawan jenis. “Kita paling gak suka, kalo belajar BMX cuma buat nampang,” geram Harfit, pentolan BMX yang lain.

Meskipun diakuinya, mahir memainkan sepeda BMX bisa jadi membuat kaum cewek terpesona. Mengingat olahraga yang termasuk mahal ini, sangat jarang yang bisa menguasai. Tetapi, justru hal itulah yang mati-matian dihindari oleh komunitas yang dikenal lewat nama POXY (Ponorogo BMX City) itu. Pasalnya, pacaran menurut mereka hanya akan membuat mereka lupa pada sang sepeda. Walhasil, sebagian besar anggota komunitas ini memilih men-jomblo. “Kita semua ini jomblo,” promosi Harfit diiringi tawa berderai yang lain.

Yang lebih ekstrim, untuk mendukung gerakan men-jomblo-nya, komunitas yang berdiri sejak tahun 2004 itu, kini mengusung motto “No Women in Here” (Tidak boleh ada cewek dikomunitas ini). Motto ini rupanya efektif untuk membuat mereka tetap kompak diusia yang menginjak 5 tahun. Meskipun motto itu agaknya hanya sekedar jargon, karena dua diantara mereka tidak betah berlama-lama men-jomblo dan memilih berpacaran.

Kini, kelompok yang digawangi Ferdin, Harfit, Gelora, Dimas, David dan Beni ini mampu menunjukkan taringnya di antara komunitas-komunitas lain di Ponorogo. Hampir 15 triks berdansa dengan sepeda mereka kuasai. Sebut saja diantaranya Lakiar, Bakiar,Time Machine, Fucy Chicken, Hang Five, Stame Poller dan lain sebagainya. “Masing-masing dari kita punya trik andalan. Kalo yang kita kuasai kira-kira 15 trik,” ujar cowok bernama lengkap Ferdinan Agata ini.

Yang lebih patut diacungi jempol, ternyata mereka mampu menghasilkan tambahan uang saku dari hobi berjumpalitan dengan sepeda itu. Padahal rata-rata dari mereka masih berusia remaja. Yaitu antara SMP dan SMA. Penghasilan tambahan itu didapat, ketika komunitas ini mendapat kesempatan untuk tampil dalam sebuah event. Yang paling gress, tentunya penampilan mereka dalam pembukaan Grebeg Suro dan Festival Reog Nasional beberapa waktu yang lalu. “Biasanya event musik yang diadain sama produsen rokok,”

Hasil keringat mereka itupun tak lantas dipakai untuk sekedar hura-hura. “Sebagian kita masukkan ke kas. Njagani (jaga-jaga) kalo pas spare part rusak dan kita pas gak ada duwit,” imbuh siswa kelas 2 ini.

Wah, kecil-kecil cabe rawit ya?