Rabu, 10 Juni 2009

PP Edisi 11-20

Dua Kali Kirap Pusaka. Ada Apa?

Prabu Klono Sewandono yang tersohor dengan pusaka pecut Samandiman, muncul dan berkirap di seputar Kauman Somoroto. Ada apa gerangan?

Iring-iringan kirap pusaka yang digelar dua pekan lalu, mengingatkan kita pada ritual serupa yang pernah diadakan pemerintah daerah Ponorogo untuk menyambut hari jadinya awal bulan Muharram kemarin. Meski serupa (tapi sebenarnya tak sama) dengan kirap Grebeg Suro yang mengambarkan perjalanan sejarah Ponorogo dari kota lama menuju kota baru, ritual yang dipusatkan di desa Kauman Sumoroto ini, tak urung turut menyedot perhatian warga dan insan media. Ratusan massa berjubel, berdesakan dipinggiran jalan menantikan kedatangan barisan pasukan pria berpakaian Ponorogan yang dipimpin oleh seseorang. Yang paling menarik perhatian, tentu saja seseorang dibarisan paling depan. Terlihat gagah berani, si pemimpin pasukan menggenggam cambuk ditangan. Siapa sebenarnya dia?.
Wong asli Ponorogo, jelas tak asing dengan figur pembawa pecut itu. Tak salah, dialah sang Prabu Klono Sewandono. Raja penguasa kerajaan Bantar Angin. Kerajaan besar yang secara geografis terletak disebelah Barat pusat kota itu konon menjadi cikal bakal berdirinya kota Ponorogo. Sedangkan senjata ditangannya adalah pecut Samandiman. Konon kabarnya, kedasyatan pecut itu tiada tara. Ibarat kata, jika dicambukkan atau disabetkan ke gunung, maka gunung tersebut akan hancur lebur dan jika disabetkan ke lautan, maka lautan itu kering kerontang. Dalam bahasa Jawa-nya; Disabet ake Gunung, Jurug. Disabet ake Segoro, Asat. Namun tak perlu khawatir, sang Prabu yang muncul dan berpawai di ds. Kauman ini bukan sang prabu yang asli. Tetapi hanya seorang guru SD yang didaulat untuk membawakan peran prabu Klono Sewandono yang menjadi ikon dalam ritual kirap pusaka kilas sejarah babat tanah Ponorogo di petilasan kerajaan Bantar Angin.
Kirap pusaka yang lazim digelar diberbagai kota di Indonesia tentunya tak asal dilakukan. Terdapat makna historis, lengkap dengan pesan-pesan tersirat bagi anak cucu, yang ingin disampaikan dari ritual setahun sekali itu. Tak terkecuali dengan kota Reyog. Setiap tahun, begitu memasuki bulan Suro/Muharram, Pemerintah Kabupaten Ponorogo juga menggelar ritual Kirap Pusaka. Selain berfungsi sebagai sarana promosi wisata, kegiatan ini sebenarnya merupakan sarana mengenang perjalanan sejarah kota Reyog di era kepemimpinan Raja Bathoro Katong. Kilas sejarah kota Ponorogo itu diaktualisasikan dengan pawai benda-benda pusaka dari kota lama (Pasar Pon) menuju kota baru (Kota Kecamatan). Selama puluhan tahun, pawai yang juga mengikutsertakan para pejabat pemda Ponorogo itu selalu menjadi tontonan yang dinanti warga Ponorogo diantara beberapa rangkaian event Grebeg Suro.
Namun dua tahun terakhir ini, berturut-turut dilakukan ritual yang hampir serupa di ds. Kauman Somoroto. Publik Ponorogo tentunya mengenal legenda Kerajaan Bantar Angin. Kerajaan yang menurut mitos meninggalkan petilasan berupa batu-bata besar di ds. Somoroto ini jelas tak bisa dilepaskan begitu saja dari rangkaian sejarah babat tanah Ponorogo. Demi mengingatkan dan melestarikan sejarah babat tanah Ponorogo, kirap itupun digelar. Bedanya, ritual ini murni tanpa campur tangan pemerintah daerah. Bisik-bisik tak sedap pun berhembus. Ada indikasi, warga masyarakat Somoroto merasa kurang “sreg” dengan kirap pusaka yang diadakan pemerintah. Apalagi muncul kesan bahwa kirap yang selama ini hanya dipusatkan dikota lama cenderung menafikkan awal mula berdirinya kota Ponorogo yang berasal dari Kerajaan Bantar Angin. Rido Kurnianto tak menampik wacana itu. “Bisa jadi demikian, namun hal seperti itu sah-sah saja,” tegas Ketua Lembaga Penelitian dan Pengabdian pada Masyarakat (LPPM) Unmuh Ponorogo yang kerap meneliti dan mengkaji sejarah seni Reyog dan babat Ponorogo ini.
Dirinya kemudian mencontohkan satu event Grebeg Suro yang juga dilakukan dua kali. Yaitu prosesi larungan. Meski pemerintah telah menggelar larungan dengan nama Larung Risalah Do’a, toh para sesepun kawasan telaga Ngebel tetap mengadakan larungan sendiri dimalam sebelum Larung milik pemerintah dilakukan. “Larungannya ya hampir sama.Pake tumpeng juga,” tambah dosen yang mengajar di Fakultas Tarbiyah lagi.
Menurut, pak Rido –sapaan Rido Kurnianto- apa yang dilakukan masyarakat Somoroto dengan menggelar kirap lagi atau sesepuh Ngebel yang mengadakan larungan dua kali bisa disebut sebagai Counter Culture atau dalam bahasa Indonesia berarti perlawanan budaya. Perlawanan sebagai bentuk ketidakpuasan ini bisa saja memantik konflik tatkala pemerintah tidak mengakomodir keinginan dan harapan masyarakat. “Namun, ketika hal itu diakomodir, sebenarnya tidak masalah,” kata pria murah senyum ini.
Secara tegas, dirinya turut membenarkan bahwa legenda babat tanah Ponorogo memang dimulai dari Kerajaan Bantar Angin yang mitosnya berada di ds. Kauman Somoroto. Namun, mengapa pemerintah Ponorogo hanya menggelar ritual kirab di petilasan Kerajaan Bathoro Katong tanpa melibatkan unsur dari kerajaan Bantar Angin, menurutnya, lebih karena kekuasaan Raja Bathoro Katong kala itu, telah mencapai hampir separuh dari wilayah Ponorogo. Berbeda dengan kepemimpinan Raja Klono Sewandono yang berkuasa hanya diwilayah bagian Barat kota Ponorogo.
Tak hanya mitos petilasan Bantar Angin, dibeberapa wilayah di Ponorogo, konon merupakan tempat yang juga terkait erat dengan sejarah Babat tanah Ponorogo. Dalam berbagai versi sejarah yang tentu saja kurang bisa dibuktikan secara faktual (nyata) kebenarannya, diceritakan di ds. Bedingin kec. Sambit, pernah ditemukan arca berbentuk potongan kepala berlumuran darah (Sirah Peteng) yang menurut masyarakat sekitar adalah perwujudan Prabu Boko (leluhur kerajaan Wengker). Kemudian, di ds. Tegal Sari dan ds. Kutu kec. Jetis yang terkenal dengan ulama kyai Ageng Hasan Besari dan pujangga besar Ronggo Warsito atau ds. Tajug, kec. Siman dengan komplek makam R. Adipati Mertohadinegoro. Mantan Bupati Ponorogo keturunan Jayengrono dan Bathoro Katong. “Jika diruntut atau diteliti, kesemua tempat itu mungkin memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan babat Ponorogo. Jadi, sebuah babat tidak bisa hanya dikaitkan dengan satu tempat saja,” pungkasnya. (andhine)


Menelisik Kembali Babat Tanah Ponorogo

Eleng-eleng o babat tanah Ponorogo
Soko Bantarangin, Prabu Klono Sewandono
Siswo kinasih, Sunan Lawu Browijoyo
Pecut Samandiman, ingkang kinaryo pusoko
Jumeglar-jumeglar, koyo goro yurnito (Bumi Reyog – cipt. Dalang Poer)

Lagu berjudul “Bumi Reyog” diatas memang secara gamblang dan jelas menyatakan bahwa babat tanah Ponorogo dimulai dari adanya kerajaan Bantar Angin. Namun, menelisik sejarah babat tanah Ponorogo dan mencari data-data faktualnya sama rumitnya dengan mengkaji sejarah kesenian khasnya yaitu Reyog. Pasalnya, sampai kini belum ditemukan data dan fakta sejarah yang membuktikan bahwa tempat itulah (petilasan di Somoroto, Red) yang menjadi awal mula terbentuknya daerah yang bernama Ponorogo. Pun dengan kapan kerajaan itu berdiri. Atau, kerajaan apa saja yang muncul setelah kerajaan Bantar Angin. Dan pertanyaan-pertanyaan lain yang kesemua jawabannya masih dalam tanda tanya besar. “Sulit dicari data-data faktualnya. Penelitian secara arkeologis juga belum pernah diadakan ” papar Rido Kurnianto, dari Unmuh Ponorogo.
Sejarah babat Ponorogo akhirnya muncul dengan berbagai versi serta bermacam cerita. Namun, Rido pribadi meyakini kerajaan Bantar Angin benar-benar pernah ada. Meskipun akhirnya, cerita tentang kerajaan Bantar Angin sangat kental dengan bumbu sehingga sejarah itu lebih layak jika disebut sebagai legenda atau mitos. “Sebuah babat memang terkait erat dengan mitos/legenda,” katanya.
Namun, sejatinya mitos dan legenda yang dimunculkan dalam sejarah tidak seluruhnya membawa pengaruh buruk. “Legenda atau mitos berfungsi untuk melestarikan budaya dan menyebarkan semangat. Sehingga sejarah akan terus diingat oleh anak-cucu kita. Tidak seluruhnya jelek. Dan legenda itupun tidak hanya muncul di Ponorogo tetapi juga dibanyak kota yang lainnya,” tambah dosen Fakultas Tarbiyah ini.
Dari tangan pria ini, Ponorogo-Ponorogo akhirnya mendapat salinan cerita babat Ponorogo dan terjadinya Reyog Ponorogo milik Alm. Ki Kasni Guno Pati atau yang akrab dipanggil Mbah Wo Kucing. “Tiga bulan sebelum mbah Wo meninggal saya dikasih ini. Saya masih ingat betul pesan beliau. “Mas, ini nanti panjenengan yang meneruskan”,” kata Rido mengulangi kata-kata Alm. Mbah Wo.
Versi Alm. Mbah Wo Kucing, cerita babat Ponorogo dimulai dari tempat yang bernama Wengker (berasal dari kata Wana/Hutan dan Angker/Banyak dihuni makhluk halus). Kerajaan makhluk halus ini dipimpin oleh sepasang raja dan ratu bernama Darmawati dan Marmawati (dengan leluhurnya Prabu Boko). Kuatnya benteng pertahanan Wengker juga berkat adanya tiga Resi bersaudara yaitu; Raden Mas Jin Jami Jaya (Penguasa gunung Semeru), Raden Panji Nilosuwarno (Penguasa sumur Jolotundo, Blitar) dan Ki Gedug Padang Ati (Penguasa gunung Probolinggo).
Suatu ketika, ketiga Resi itu diperintahkan Raja Wengker untuk memperluas wilayah kekuasaan. Kesempatan ituh yang ditunggu-tunggu mereka karena sedari dulu mereka kurang senang dengan pemerintahan Darmawati dan Marmawati. Mereka pun meninggalkan Wengker hingga suatu saat sampailah mereka ditempat yang lapang dengan padang ilalang disekelilingnya. Ketiga pengembara ini kemudian menghentikan perjalanannya dan beristirahat. Tempat itu kemudian disebut Bantar Angin (Bantar/tempat yang sangat luas, Angin/udara yang berhembus). Disinilah mereka bertempat tinggal dan mendirikan padepokan.
Cerita diteruskan dengan munculnya seorang pengembara bernama Raden Panji Kelana (putra raja Kahuripan/Jenggala) di Bantar Angin. Panji Kelana kemudian berguru kepada ketiga Resi pemimpin padepokan itu. Singkat cerita, padepokan itu mengalami pergantian kekuasaan. Ketiga resi merasa sudah terlalu tua untuk memimpin BantarAngin hingga tampuk kekuasaannya diserahkan kepada Panji Kelana.
Pada suatu hari di sebuah tempat dikaki Gunung Lawu, Panji Kelana bertemu dengan Joko Pujang. Putra raja Kediri. Tabiat Joko Pujang yang tinggi hati memicu perkelahian antara keduanya. Adu kekuatan itu kemudian dimenangkan oleh Panji Kelana. Ketika Panji hendak membunuh Joko Pujang, muncullah seorang Brahmana (pertapa tua) penghuni Gunung Lawu yang melarang Panji Kelana. Dialah Kanjeng Sunan Lawu. Akhirnya kedua pemuda itu diangkat menjadi murid Sunan Lawu. Karena ketekunan kedua muridnya, Sunan Lawu memberikan aji kesaktian kepada mereka. Raden Panji Kelana mendapat Topeng Kencana dan Pecut Samandiman. Sedangkan Joko Pujang mendapat Topeng Kesaktian dan Aji Landak Putih.
Selanjutnya, Panji Kelana memerintah kerajaan Bantar Angin dengan gelar Raden Panji Kelana Siswa Handana (sering diucapkan menjadi Raden Panji Kelono Sewandono). Kelana artinya suka berkelana, Siswa artinya murid, sedangkan Handana berarti pemberani. Yang akhirnya dijuluki Kelana Sewandana.
Joko Pujang sendiri akhirnya mengabdi kepada Raden Kelana Sewandana dan bergelar Joko Pujang Anung. Joko Pujang berarti masih muda, dan Anung artinya agul-agul (prajurit) kerajaan. Joko Pujang Anung (kerap disebut Pujang Ganong) akhirnya menjadi patih kerajaan Bantar Angin.
Dari cerita itulah kini di wilayah Seboto ds. Somoroto, ditemukan batu bata dengan ukuran yang besar-besar. Konon, disitulah pusat kerajaan Bantar Angin. (andhine)

3 komentar:

  1. Trima kasih telah menulis artikel ini mbak. Saya juga membuat blog tentang Ponorogo dan artikel tentang sejarah Ponorogo ini menambah pengetahuan di Blog tsbt. hehe, Trima kasih banyak. . . . "Salam Jas Merah dari Desa Mangkujayan, Ponorogo. . .!"

    BalasHapus
    Balasan
    1. sama-sama.. :')
      Ini juga masih belajar kok.

      Hapus
  2. tetap semangat nguri-nguri budaya Ponorogo!

    BalasHapus